Terus Melaju di Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) 2023, Ini Keunggulan Malam Batik Sawit
Jakarta – Humas BRIN. Usai menyelesaikan tahap presentasi dan wawancara, Inovasi Malam Batik Sawit (MBS) BRIN memasuki tahap verifikasi dan observasi lapangan yang dilakukan oleh Kementerian PANRB dan Tim Panel Independen (TPI) Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) 2023. Malam Batik Sawit menjadi satu dari 20 inovasi yang telah dipilih menjalani tahap ini.
Wahyu Purwanto, anggota tim inovator MBS menjelaskan bahwa inisiasi dari inovasi ini pada dasarnya adalah untuk mengurangi ketergantungan akan bahan dasar pembuatan malam yang sebagian besar masih impor. Ide ini juga didasarkan pada pembuatan produk alternatif yang lebih ramah lingkungan, ujarnya saat verifikasi dan observasi lapangan dari KIPP 2023, Senin (24/07).
“Lewat MBS ini bahan malam untuk batik yang sebagian besar masih impor bisa digantikan dengan bahan yang diproduksi dari industri sawit lokal. MBS sendiri mudah direplikasi karena alat yang digunakan dalam proses produksi cukup sederhana,” ujar periset Pusat Riset Agroindustri BRIN tersebut.
Wahyu menyebut potensi dari MBS ini sangat besar, mengingat secara produksi bahan baku, jumlahnya melebihi dari kebutuhan industri batik dalam negeri. “Dari segi harga, karena produk ini sifatnya subtitusi dari parafin, jika mengacu pada harga parafin, MBS ini bisa lebih murah dengan kisaran 10-20% dari paraffin,” pungkasnya.
Wirasno, pengrajin batik asal Surabaya bercerita bahwa dirinya telah mengenal MBS sejak tahun 2019. “Diawali dari BPPT yang saat ini telah bergabung dalam BRIN dan Balai Besar Kerajinan Batik melakukan sosialisasi penggunaan MBS ini di workshop kami. Melihat adanya potensi dari MBS, kami terus mencoba seiring dengan perbaikan kualitas dari Inovasi MBS ini,” ujarnya.
Usaha batiknya, Batik Canting Wira sudah menghasilkan berbagai produk, mulai dari yang kualitas standar, hingga yang premium dengan menggunakan MBS. Ia menerapkannya baik di katun maupun sutra. “Secara jumlah pemakaian, sesuai standar kami, rata-rata 1 lembar menghabiskan 0,5 Kg MBS. Dalam proses produksi, kami sendiri ada beberapa kali proses pelorodan yaitu proses untuk menghilangkan lilin malam dari kain. Dari proses tersebut, kami menghabiskan kurang lebih antara 250 – 500 gram MBS perlembar,” terangnya.
Ia juga menambahkan bahwa secara kualitas, MBS tidak kalah dengan parafin konvensional yang berasal dari minyak bumi. Hal tersebut ia buktikan melalui kualitas motif yang jelas dan tidak pecah. “Jika kualitas malam yang digunakan kurang baik, biasanya berdampak pada motif yang kurang jelas atau juga pecah-pecah. Dan hal tersebut tidak terjadi pada MBS,” lanjut Wira.
Usaha batiknya saat ini juga telah 100% menggunakan MBS untuk melakukan pembatikan. Hingga saat ini dia juga menyebut bahwa tidak ada keluhan dari pelanggannya mengenai kualitas batik yang menggunakan MBS.
Selain kualitasnya yang baik, MBS juga memiliki harga yang relativ lebih murah dibandingkan parafin konvensional. “Secara harga masih dibawah yang konvensional yang biasa kami pakai. Jika lilin yang biasa kami pakai harganya berkisar 50 ribu ke atas, sedangkan MBS ini di bawah 50 ribu. Tidak hanya harga, MBS ini juga irit bahan bakar karena suhu yang digunakan untuk mencairkannya selama proses pembatikan tidak perlu terlalu tinggi,” ujar Wira lebih lanjut.
Senada dengan Wira, Ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan (FPKBL), Alpha Febela Priyatmono, menyebut bahwa selain memiliki harga yang lebih rendah, MBS ini juga baik untuk digunakan karena berasal dari bahan yang lebih ramah lingkungan. “Jika dibandingkan dengan bahan sebelumnya yang terbuat dari minyak bumi, tentunya parafin yang berasal dari sawit ini kami rasa ramah bagi lingkungan,” ujarnya.
Ia dan rekan-rekannya di FPKBL secara aktif menggunakan MBS sebagai bahan dalam proses pembuatan batik di Laweyan. Bukan tanpa alasan, ia dan rekan-rekannya memiliki visi untuk menjadikan Laweyan menjadi Kawasan industri bersih yang mengusung konsep eco, culture, dan creative.
“Adanya MBS yang berbahan organik ini kami sambut baik sebagai salah satu cara kami untuk menuju visi kami tersebut. Apalagi di wilayah kami sudah ada instalasi pengolah limbah komunal yang tentunya semakin memudahkan untuk melakukan pengolahan limbah. Di sisi saya sendiri, sebagai pemilik Batik Mahkota, saat ini sedang mendapat pendampingan dari Kemenperin untuk memperoleh predikat green batik, sehingga MBS ini menjadi salah satu pendukung untuk mencapai ke arah sana,” terang Alpha.
Sementara dari pihak produsen bahan baku MBS,
Rapolo Hutabarat, Ketua Asosiasi Produsen Oleo Kimia Indonesia, turut
menjelaskan bahwa ketersediaan bahan baku sangat melimpah. “Dari produksi CPO
tahun lalu sekitar 50 juta ton, kira-kira 15% digunakan sebagai bahan baku MBS.
Berarti potensi ketersediaan bahan baku di dalam negeri sekitar 7,5 ton. Jadi
bahan baku sangat tersedia. BRIN perlu mendorong adanya regulasi untuk meningkatkan
jumlah produsen MBS, dan mendiseminasikan penggunaan MBS ke sentra-sentra produksi
batik di daerah”, tambahnya. (akb)