Riset Polusi Cahaya untuk Wisata Langit Malam
Bandung-Humas BRIN. Kegiatan pengamatan langit malam di Indonesia yang dilakukan oleh komunitas-komunitas pecinta astronomi Indonesia, komunitas pecinta langit hingga pemerintah daerah bersama-sama masyarakat sudah sering dilakukan. Banyak daerah-daerah yang ada di Indonesia berpotensi sebagai lokasi pengamatan langit. Namun, untuk menuju konsep astrotourism atau wisata langit malam harus didukung berbagai sarana prasarana, pengelolaan yang baik dan terbebas dari polusi cahaya.
Hal tersebut disampaikan Clara Yono Yatini, Peneliti Ahli Pusat Riset Antariksa, Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa-BRIN, Senin (22/5). “Saya kira banyak sekali event melihat langit yang dilakukan salah satunya oleh komunitas-komunitas pecinta langit, hanya saja pengelolaan secara profesional itu yang belum ada di Indonesia,” tuturnya.
Lebih lanjut dalam penjelasannya, untuk menuju konsep astrotourism banyak yang harus disiapkan mulai dari agar pengunjung bisa mudah datang ke lokasi, hingga bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan yang terkait dengan antariksa. Tidak hanya dengan fasilitas pendukung, Clara mengingatkan bahwa objek utama astrotourism sendiri adalah langit sehingga harus diperhatikan aspek polusi cahayanya. “Tetapi harus diingat juga bahwa walaupun nanti didalam wilayah itu ada kegiatan, ada kuliner, ada penginapan jangan sampai menimbulkan polusi cahaya,” ucap Clara.
Polusi cahaya menjadi permasalahan
tersendiri untuk melihat keindahan langit malam. Saat ini, di kota-kota besar
sudah sulit sekali melihat keindahan langit malam karena cahaya buatan manusia
yang berpendar menerangi langit. Konsep wisata langit malam membutuhkan langit
yang benar-benar gelap. Clara menyebutkan salah satu parameter bahwa kondisi
langit suatu lokasi cukup gelap adalah terlihatnya semacam barisan
bintang-bintang yang disebut galaksi milkyway
dengan baik dan jelas.
“Selain milkyway tentu ada bintang-bintang lain yang bisa kita lihat. Dalam astronomi batasan kegelapan langit itu kira-kira magnitudo visualnya sekitar +6. Magnitudo +6 itu adalah magnitudo bintang yang redup yang masih bisa dilihat dengan mata telanjang,” terangnya.
Secara ilmiah alat yang digunakan untuk mengukur sky brightness atau kecerlangan langit pada suatu malam digunakan alat yang disebut sky polarimeter. “Alatnya cukup sederhana tapi itu bisa mengukur sky brightness disuatu tempat, bentuknya kecil, harganya terjangkau meski tidak dijual bebas tapi mudah didapatkan serta mudah digunakan,” terangnya.
Salah satu riset yang dilaksanakan oleh Pusat Riset Antariksa BRIN adalah riset terkait polusi cahaya. Fokus yang dilakukannya menurut Clara adalah bagaimana kecerlangan dan kondisi polusi cahaya yang ada di daerah di Indonesia melalui pengukuran terbatas secara in situ dan pemanfaatan data satelit. “Tapi memang saat ini riset masih terbatas hanya Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur dan beberapa daerah yang memiliki stasiun pengamatan,” kata Clara.
Riset dan pemantauan polusi cahaya yang telah dilakukan oleh Pusat Riset Antariksa saat ini lebih difokuskan pada lingkungan di sekitar Observatorium Nasional Timau. Sebagai observatorium yang dibangun dengan sumber daya yang sangat besar, dengan teleskop kelas dunia, maka langit harus dijaga agar selalu gelap sehingga keberlangsungan observatorium ini selalu terjaga, paling tidak selama seratus tahun kedepan.
“Pengukuran kualitas langit ini juga diperlukan sebagai informasi bagi para pengamat dari dalam dan luar negri yang akan berkolaborasi memanfaatkan fasilitas di observatorium ini”, tutur Clara.
Pihaknya secara rutin melakukan pemetaan kondisi kecerlangan langit di sekitarnya untuk mengetahui kondisi kecerlangan langit dari waktu ke waktu guna mengantisipasi apabila terjadi pengurangan kualitas langit. “Pemetaan kecerlangan langit ini juga dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah setempat untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang tepat untuk dapat dikembangkan menjadi lokasi astrowisata,” pungkasnya.
Lebih lanjut Clara menjelaskan mengenai solusi untuk mengurangi polusi cahaya disuatu lokasi yang berpotensi dijadikan lokasi wisata langit malam. “Solusinya adalah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat sekitar untuk mengupayakan agar cahaya tidak mengarah ke langit. Misalnya lampu dijalan memakai tudung lampu sehingga cahaya lebih mengarah kebawah,” ucapnya.
Menurut Clara, potensi daerah yang ada untuk saat ini masih banyak terkendala seperti lokasi yang sulit dijangkau, kendala akomodasi, kendala logistik dan sebagainya. Sementara itu katanya, pengelolaan suatu wisata secara profesional membutuhkan banyak sekali parameter.
“Banyak sekali infrastruktur yang harus
mendukung mulai dari jalan, akomodasi yang baik seperti sanitasi, logistik,
kemudian bagaimana kita menerima pengunjung, dan penginapan. Namun tentu saja seperti yang saya jelaskan sebelumnya,
aspek polusi cahaya yang ditimbulkan dari pembangunan infrastruktur tetap harus
diperhatikan,” jelasnya. (mg, ed.kg)