• (021) 3169010
  • ppid@brin.go.id
Views ( 941 ) Feb 2, 2024

Periset BRIN ungkat Potensi Zakat sebagai Raksasa Tidur Indonesia


Jakarta - Humas BRIN. Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam sehingga bersifat wajib untuk dikeluarkan apabila telah memenuhi syarat-syarat. Zakat dan zakat infeksius di Indonesia berpotensi sebagai raksasa tidur, ujar Gunawan Baharuddin, Postdoctoral di Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN. 


“Kenapa kita sebut sebagai raksasa tidur, karena potensi zakat yang ada di Indonesia menurut hasil kajian adalah 327 triliun, sedangkan pada tahun 2023 itu tidak sampai 10% hanya 20 triliun. Nah jadi raksasanya ini belum bangun jadi masih 10%,” jelas Gunawan dalam BRIN Insight Every Friday (BRIEF) ke 107.


“Bisa dibayangkan bagaimana 327 triliun ini bisa membangkitkan produktivitas rakyat-rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan,” lanjut Gunawan.


Pria yang saat ini menjabat sebagai Deputy Head of Research and Community Empowerment Universitas Pancasila ini menyebut untuk di negara-negara Islam, zakat ini berperan sangat masif untuk membantu dalam operasional kenegaraan, tentunya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya pada 8 asnaf.


“Bagaimana zakat itu dikeluarkan, kemana zakat itu distribusinya, dan lain sebagainya itu sudah diatur di dalam Alquran dan sangat komprehensif tentang hal tersebut berbeda mungkin dengan dana-dana islam lainnya seperti wakaf, sedekah yang tidak bersifat wajib,” sebut Gunawan 


Ia mengatakan beberapa peneliti telah menyebutkan bahwa zakat merupakan instrumen dalam skema pendapatan negara sehingga menjadi sumber pendanaan untuk meningkatkan kesejahteraan Masyarakat, bahkan dalam beberapa diskusi itu dianggap sebagai social finance atau keuangan sosial keagamaan yang di beberapa negara itu sudah dijadikan sebagai keuangan publik.


Gunawan menjelaskan alasan mengapa zakat bisa dijadikan sebagai keuangan publik. Zakat selaras dengan tujuan negara untuk mencapai keadilan sosial dan Pembangunan yang adil, dan merata. Pengelolaan zakat juga hendaknya diserahkan kepada ulil’amri. Selain itu, dahulu zakat merupakan sumber keuangan yang utama.


“Kalau kita melihat beberapa literasi referensi rujukan daripada penelitian maka pengelolaan zakat yaitu kontaknya diserahkan kepada Ulil’amri. Nah zakat itu selaras dengan tujuan negara untuk mencapai keadilan sosial dan pembangunan yang adil dan merata, ini juga didasarkan pada saat zaman Rasulullah bahwa zakat itu memang menjadi sumber keuangan utama di samping wakaf pada saat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam itu boleh membangun pondasi kenegaraan di Madinah pada saat beliau hijrah dari Mekah, ini menjadi sumber pendanaan pemerintahan Rasulullah pada masa itu jadi ini menjadi keuangan publik,” terang Gunawan.


Gunawan mengatakan dirinya telah melakukan diskusi bersama BAZNAS sebagai lembaga koordinator pengelolaan zakat tentang masa depan zakat di Indonesia. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan demi menjadikan zakat di Indonesia lebih baik kedepannya. Sistem terus dikembangkan dan saat ini telah mengeluarkan desain untuk pengumpulan dan pendistribusian zakat. Bahkan ada upaya untuk mempertimbangkan regulasi bagaimana jika zakat ini menjadi keuangan publik atau diwajibkan kepada masyarakat yang telah memenuhi syarat.


“Harapan kita zakat di Indonesia itu sebagai keuangan publik dan sudah wajib, karena dalam beberapa kajian yang kami kumpulkan memang 200 triliun, sedangkan potensi kita 327 triliun tapi kalau diskusi kami dengan Bank Indonesia maka minimal potensi zakat di Indonesia hanya 200 triliunan saja dan ini perlu kita tingkatkan,” tutur Gunawan.


“Kemudian transparansi dan akuntabilitas, bahkan sekarang beberapa lembaga zakat itu sudah menjadikan kantor akuntan publik itu sebagai bagian dari pelaporan zakat dan pemanfaatan zakat sehingga hal ini bisa meningkatkan interes masyarakat lain, meningkatkan cares terhadap pemerintah. Kita tidak ingin masyarakat itu tidak mempercayai pemerintah,” lanjutnya.


Selain itu digitalisasi zakat juga perlu dilakukan sehingga terciptalah efisiensi dan efektivitas dalam proses pengumpulan dan pendistribusian. “Rekomendasi kami untuk middleton adalah zakat sebagai pengurang pajak penghasilan bukan penghasilan kena pajak ya, jadi ketika masyarakat sudah membayarkan pajak zakatnya dan itu disertai dengan bukti maka itu boleh di dijadikan sebagai bukti untuk mengurangi pajak,” ujar Gunawan. (nnp/ed akb)