Pentingnya Klirens Etik Penelitian
Jakarta - Humas BRIN. Penelitian, pada hakikatnya, bertujuan untuk menemukan hal baru yang bermanfaat bagi manusia. Secara etik, suatu penelitian baru dapat dipertanggungjawabkan, jika dilakukan dengan menghargai dan melindungi, serta berlaku adil terhadap subyek penelitian.
Klirens Etik (ethical clearance) adalah suatu instrumen untuk mengukur keberterimaan secara etik suatu rangkaian proses riset. Setiap kegiatan riset diwajibkan memiliki Surat Persetujuan Klirens Etik Riset dari Komisi Etik sebelum penelitian dimulai. Klirens Etik Riset merupakan acuan bagi periset dalam menjunjung tinggi nilai integritas, kejujuran, dan keadilan dalam melakukan penelitian. Pemahaman atas Klirens Etik Riset sangat diperlukan agar periset tidak menemui masalah dalam menjalankan riset dan mempublikasikan hasil risetnya.
Anggota Komisi Klirens Etik bidang Sosial dan Humaniora, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Augustina Situmorang, mengatakan, masalah klirens etika, khususnya di bidang sosial humaniora relatif baru. Di Indonesia sendiri peraturannya baru keluar tahun 2019. “Kita bisa pahami, masih banyak peneliti ilmu sosial yang belum memahami ilmu sosial”, terang Augustina, dalam kegiatan BRIN Insight Every Friday, di Jakarta, Jumat (18/03).
Dulu apabila melakukan penelitian, lanjut Augustina, masyarakat atau responden tidak begitu mengetahui seperti apa publikasi penelitian yang kita lakukan. “Sekarang dengan adanya peran digital, masyarakat yang butuh ilmu sosial bisa membaca ulang, apabila ada yang tersinggung mereka protes. Oleh karena itu, peneliti sekarang harus lebih hati-hati dalam mengekspresikan atau melakukan penelitiannya”, katanya.
Augustina menuturkan, klirens etika penelitian adalah suatu instrumen, untuk mengukur keberterimaan secara etik suatu rangkaian proses penelitian. ”Artinya, mulai membuat proposal, memilih responden, sampai kita mempublikasikan data hasil penelitian kita”, imbuhnya.
Bahkan beberapa penyandang dana dan penerbit atau jurnal nasional dan internasional, mensyaratkan adanya klirens etika approval, sebelum mempublikasikan hasil penelitian. “Jadi peneliti tidak diperkenankan untuk turun ke lapangan, sebelum adanya klirens etika approval. Begitu juga penelitian yang didanai oleh BRIN melalui Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora”, tandas Augustina.
Augustina menjelaskan, secara prinsip semua penelitian yang melibatkan manusia, tidak boleh melanggar standar etik yang berlaku universal, dan harus memperhatikan berbagai aspek sosial budaya masyarakat yang diteliti.
Pada dasarnya, kata Augustina, klirens etika bertujuan untuk melindungi subyek penelitian atau responden, dari bahaya secara fisik, psikis, sosial dan konsekuensi hukum. Sebagai akibat turut berpartisipasi dalam suatu penelitian, seperti saat meneliti trafficking, atau narkoba. “Responden juga harus diperlakukan sesuai dengan latar belakang, dan kondisi masing-masing”, papar Augustina.
Apabila ada perbedaan perlakuan antara satu individu dengan yang lainnya, hal tersebut dibenarkan selama dapat dipertanggungjawabkan secara moral, dan diterima oleh masyarakat. Klirens etika penelitian juga sebagai acuan, bagi peneliti untuk menjunjung tinggi nilai integritas, kejujuran, dan keadilan dalam melakukan penelitian. ”Kalau kita melakukan prinsip-prinsip ini, dengan sendirinya peneliti bisa terlindungi dari tuntutan terkait etika penelitian”, pungkasnya (ns/ed:cj).