Pantik Semangat Kolaborasi Melalui Konferensi
Jakarta – Humas BRIN. Perkembangan iklim riset di Indonesia semakin
menarik minat para praktisi, akademisi dan pemangku kepentingan lainnya.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi memberi mandat bahwa pengembangan bidang iptek dan inovasi harus
terus berkembang sesuai dengan koridor masing-masing. Proses hilirisasi
manajemen penelitian perlu dikembangkan hingga proses komersialisasi untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis pengetahuan. Untuk itu, penguatan
kapasitas SDM merupakan hal penting agar iptek dapat menjadi basis pengambilan
tindakan.
Badan Riset dan Inovasi Nasional dalam upaya mendukung program pemerintah
dalam bidang riset dan teknologi, membuka Program Pengembangan Kapasitas SDM
melalui Program Pendanaan Pembicara Ilmiah Utama Internasional. Program ini
merupakan dukungan kepada sivitas BRIN pada konferensi ilmiah di luar negeri,
sebagai insentif bagi sivitas BRIN yang kepakarannya telah diakui secara
internasional. Juga sebagai pendorong sivitas lainnya untuk dapat mencapai
tingkat kepakaran yang diakui secara internasional.
BRIN Insight Every Friday edisi ke 39 hadir dengan tema The
Spirit of Research Collaboration, dengan narasumber Theresia Ningsi Astuti
S.E,M.I.Kom, Koordinator Direktorat Penguatan & Kemitraan Infrastruktur
Riset dan Inovasi BRIN dan Dr. Edi Kurniawan ST, M.Eng, Peneliti Ahli Madya
Pusat Riset Fotonik BRIN. BRIEF edisi ini menjadi wadah informasi dan dukungan
kepada sivitas BRIN yang telah atau akan berkiprah ditingkat internasional.
BRIN
sendiri akan melaksanakan konferensi internasional pada tanggal 21-25 November
2022. Pembukaan akan dilaksanakan pada tanggal 21 November 2022 dan kegiatan
konferensi sendiri akan dilaksanakan pada tanggal 22-25 November 2022. Ada 15
konferensi yang akan dilaksanakan pada tanggal tersebut. Sebelas konferensi
dilakukan secara full online dan empat lagi secara hybrid dengan jumlah peserta
yang tentunya terbatas.
Theresia
menjelaskan, ada empat tujuan dilaksanakannya konferensi ini. “Yang pertama yaitu
sebagai wadah bagi para periset untuk dapat mempresentasikan hasil penelitiannya.
Kedua, sarana membangun jaringan di kalangan para periset atau komunitas
science. Ketiga, menambah pengalaman dalam mengelola konferensi ilmiah
internasional, agar tidak hanya kita sebagai partisipan tetapi kita juga harus
mempunyai pengalaman sebagai penyelenggara. Apalagi BRIN sebesar ini tentunya
harus mampu mengelola konferensi sendiri, sedangkan kita memiliki sumber daya
yang sangat besar. Keempat, saling memperkuat kapasitas SDM diantara para
periset sehingga bisa menghasilkan penelitian yang berkualitas tentu saja
dengan kolaborasi. Periset yang sudah handal harus bisa membantu rekan-rekan
yang lain agar bisa menghasilkan penelitian yang berkualitas,” lanjutnya.
Theresia
mengatakan bahwa organisasi riset yang tergabung dalam konferensi internasional
2022 adalah kebumian dan maritim, hayati dan lingkungan, pertanian dan pangan, kesehatan,
energi dan manufaktur, nanoteknologi dan informatika, penerbangan dan antariksa
dan tenaga nuklir. Harapannya kedepan organisasi riset dibidang ilmu sosial,
keagamaan, arkeolog akan bisa bergabung di konferensi ini sehingga gaungnya
akan lebih besar lagi.
“Saya
ingin membawa misi World Association of Industrial & Technological Research
Organization (WAITRO). WAITRO memiliki misi untuk menciptakan ekosistem riset
dalam inovasi dan saling berbagi pengalaman. Sivitas BRIN baik periset maupun
non periset dapat memanfaatkan program-program yang ada di WAITRO ini,” terang
Theresia.
Ia
melanjutkan, dari 14 konferensi, data penerimaan paper hingga saat ini sudah lebih
dari 2000, ia sangat mengapresiasi kerja keras para panitia konferensi untuk
mengundang pemakalah. Langkah selanjutnya adalah panitia harus merivew paper
hingga nanti konferensi dan terbit.
Dalam kesempatan yang sama, Edi Kurniawan pada paparannya menjelaskan prosiding
cenderung dianggap kurang prestisius jika dibandingkan dengan jurnal. Hal ini
dikarenakan proses review yang lebih singkat. “Untuk prosiding konferensinya
bisa dibilang hanya perlu 1 ronde review, sedangkan untuk jurnal sendiri proses
reviewnya lama bisa dua kali bahkan lebih. Namun hal tersebut berubah ketika konferensi
diadakan oleh komunitas yang sudah lama, semisal 30 atau 40. Untuk bisa lolos
konferensi semacam ini seleksinya lebih susah,” terangnya.
Edi
melanjutkan bahwa dari sisi substansi, prosiding adalah hasil dari riset awal,
berbeda dengan jurnal yang hasil risetnya sudah mendalam, lengkap dan banyak
hasilnya.
“Memang
jurnal terlihat lebih baik dari prosiding, tapi prosiding juga menawarkan
kelebihannya. Seperti kesempatan untuk berjejaring. Karena konferensi juga
dikumpulkan dengan topik riset yang serupa, kita jadi dapat bertemu dengan
periset lain yang melakukan riset setopik dengan kita. Kita juga berkesempatan
untuk mendapat umpan balik dari peneliti lain di bidang yang sama,” lanjut Edi.
Tujuan
akhir adalah bukan hanya konferensi saja, tetapi publikasi. Masukan peneliti
lain yang diperoleh saat konferensi dapat diolah untuk memperbaiki hasil
tulisan periset.
“Dari
aspek penulisan makalah, prosiding dapat dianggap sebagai latihan awal atau rancangan
awal sebelum melakukan publikasi di jurnal. Sebagai periset kita perlu
mengenali apa itu penerbit dan pengindeks global, apa makna sesungguhnya dari open
access dan close access. Kita harus mencoba perbaiki
kualitas riset dan tulisan ilmiah kita maka dampak dan sitasi akan datang
dengan sendirinya,“ tutup Edi. (nov/ed. akb)