Ekonomi Indonesia, Resesi atau Tidak?
Jakarta - Humas BRIN. Tak dipungkiri dampak terjadinya pandemi covid-19 masih dirasakan seluruh masyarakat di dunia. Kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat selama dua tahun lebih yang bertujuan untuk meredam penyebaran covid-19 sangat mempengaruhi roda perekonomian.
Terjadinya stagflasi ekonomi membuat banyak pengusaha mengalami kebangkrutan. Meski ada kemerosotan ekonomi, namun diyakini tidak akan sampai berdampak besar. Perdebatan terkait dengan resesi 2023 masih ramai menghiasi ranah publik. Mulai dari petinggi negara hingga pakar ekonomi membagikan pandangannya. Beberapa tak segan memberikan ramalannya. Tidak sedikit pula, pihak yang terintimidasi akibat narasi resesi yang dibagikan, umumnya oleh pemerintah.
BRIEF (BRIN INSIGHT EVERY FRIDAY) edisi Jumat (30/12) hadir dengan tema “Ekonomi Indonesia di Penghujung 2022 dan Isu Resesi 2023”. Pembicara dalam kegiatan tersebut, Peneliti Ahli Muda dan Pakar Ekonomi Pusa Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN, Pihri Buhaerah mengatakan Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum yang terjadi terus-menerus dalam jangka waktu tertentu. Selain dampak pandemic covid-19, salah satu faktor penyebab inflansi ekonomi yang terjadi sekarang ini adalah efek dari perang Rusia dan Ukraina, Indonesia menghadapi guncangan krisis ekonomi dalam tiga tahun terakhir. Positifnya, Indonesia terbukti menjadi salah satu negara di dunia yang mampu memiliki daya tahan dalam menghadapi krisis global, ujarnya.
Pihri menambahkan, ketahanan ekonomi Indonesia dapat diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi, di tahun 2020, menyentuh minus 2,07 persen, kemudian mulai pulih pada tahun 2021 sebesar 3,69 persen, dan pada triwulan III tahun 2022 tumbuh sebesar 5,7 persen. Namun demikian untuk menjadi negara maju, Indonesia tidak cukup hanya memiliki daya tahan tersebut. Dalam menghadapi perekonomian global 2023 yang belum menentu, BRIN memprediksi perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh dengan baik angka pertumbuhan ekonomi pada 2023 tersebut juga didasarkan pada keyakinan bahwa kinerja perekonomian mulai membaik pada triwulan IV-2022 di angka 5,4 persen.
Namun, menurutnya untuk menjadi negara maju, Indonesia tidak cukup hanya memiliki daya tahan tersebut karena Indonesia harus mampu melakukan akselerasi ekonomi. Peningkatan ekonomi Indonesia pada triwulan I-IV 2021 terutama didorong oleh peningkatan kinerja ekspor, konsumsi rumah tangga, investasi, dan konsumsi pemerintah. Perbaikan ekonomi ini menunjukkan bahwa Indonesia berhasil bangkit setelah mengalami Tekanan selama beberapa triwulan terakhir akibat COVID-19, tutur Pihri.
Pemerintah mempunyai peran
strategis dalam mendorong percepatan dan efektivitas pemulihan ekonomi
nasional, pemulihan ekonomi nasional dilakukan dengan mengambil kebijakan
fiskal dan moneter yang komprehensif dengan dukungan Bank Central. Terdapat 3
(tiga) kebijakan yang dilakukan yaitu peningkatan konsumsi dalam negeri
(melalui UMKM), peningkatan aktivitas dunia usaha (memperluas lapangan
perkerjaan) serta menjaga stabilitasi ekonomi dan ekpansi moneter. Kebijakan
tersebut dilaksanakan secara bersamaan dengan sinergi antara pemegang kebijakan
fiskal, pemegang kebijakan moneter dan institusi terkait, perjuangan untuk
membangkitkan ekonomi dari pandemi Covid-19 masih terus berlanjut. Peningkatan
kolaborasi antar pemangku kepentingan merupakan kunci dalam upaya pemulihan
ekonomi, ujar Pihri. (sj)