BRIN Terus Tingkatkan Sivitas untuk Berkompetisi dan Bersaing Dalam Riset
Jakarta, Humas BRIN. Periset harus berinisiatif untuk membentuk kelompok riset (KR) di Pusat Risetnya masing-masing. Hal ini dikarenakan KR bersifat bottom up dari periset yang memiliki minat pada objek riset yang sama untuk membuat proposal riset bersama.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko dalam kesempatan Apel Pagi BRIN, Senin (1/8). Apel Pagi ini dilaksanakan secara daring melalui zoom dan youtube yang disiarkan langsung dari kantor BRIN Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
“Anggota KR dapat berasal dari lintas kepakaran dan/OR maupun PR. Untuk kepala KR dapat dipilih oleh anggota KR tanpa memperhatikan syarat jenjang atau senioritas, sehingga yang ditunjuk adalah yang memiliki ide atas proposal riset,” lanjut Handoko.
Handoko juga menambahkan bahwa nantinya kepala KR itu ditetapkan dengan SK Ka OR sesuai afiliasi kepala KR setiap awal tahun. Setiap periset tidak wajib bergabung di KR tertentu dan begitu sebaliknya dapat bergabung di beberapa KR sebagai anggota. Sedangkan untuk posisi kepala KR hanya boleh di 1 KR terangnya.
“Indikator kinerja KR dapat ditentukan dari diperolehnya dana eksternal (tunai/in-kind) dan keluaran kolaboratif dalam bentuk KI/KTI dengan outhorsip dari para anggota. Sementara untuk indikator kinerja periset: Keluaran Kinerja Minimal (KKM) ditentukan sesuai tusi unit kerja PR/Direktorat/Biro/Pusat non Riset ditetapkan dengan peraturan BRIN (untuk awal TA 2022 ditetapkan dengan SK Kepala BRIN) masa transisi sampai dengan 2023 untuk beberapa kasus,” jelas Handoko.
Terkait hal tersebut, muncul pertanyaan mengapa harus membuat kekayaan intelektual dan publikasi. Bukankah yang penting hasil riset tersebut dapat dimanfaatkan masyarakat. Hal ini ditanggapi Handoko sebagai bagian dari edukasi dan menunjukkan bahwa budaya dan literasi iptek kita memang belum cukup kuat. Lemahnya budaya literasi iptek ini tampak dari masih munculnya pertanyaan sejenis.
“Untuk itu perlu ditegaskan kembali dengan ilustrasi yang mungkin berbeda. Baik di OR maupun PR yang telah melakukan riset apapun jenisnya dari hulu sampai hilir, intinya adalah tetap berorientasi pada kebaruan. Karena riset yang menghasilkan kebaruan tersebutlah yang memiliki diferensiasi sehingga memiliki daya nilai lebih,” tegas Handoko.
Terkait dengan kekayaan intelektual, Handoko memberikan penjelasan terkait apapun jenisnya baik itu paten, desain industry, PVT dan sebagainya. Kekayaan intelektual ini merupakan klaim untuk kebaruan atas aplikasinya. Sehingga kekayaan intelektual ini belum bisa menjadi bukti dari kebenaran pembaharuan.
“Harapannya dari klaim kekayaan intelektual tersebut bisa berkembang menjadi aplikasi dan sebagainya sehingga menjadi inovasi. Bentuknya bisa bermacam-macam, sebagai contoh jika ilmu sosial dapat berbentuk kebijakan atau jika teknologi berupa lisensi. Yang mana dari aplikasi tersebutlah bisa didapat royalti,” imbuhnya.
Handoko menerangkan bahwa publikasi dak kekayaan intelektual bersifat saling melengkapi. Dengan publikasi yang terindeks global akan secara berperan sebagai bukti ilmiah dari “klaim” yang ada dalam kekayaan intelektual. Sehingga menjadi penting untuk KR merancang risetnya agar multioutput, publikasi dan paten dapat berjalan beriringan.
“Hal ini merupakan bagian
dari proses yang perlu dilakukan merupakan tahapan dari aktifitas riset yang
perlu dilakukan sehingga tidak perlu didikotomikan dan tidak boleh praktisis.
Karena disemua negara juga telah melakukannya. Dari sini dapat ditarik
kesimpulan bahwa kita belum memahami atau memang belum sampai di situ. Tahun
ini menjadi momen untuk memperkuat pola pikir, aktivitas desain riset kita bersama.
Kesempatan tahun ini untuk membenahi dan menata ulang dan membawa sivitas BRIN
ke arah yang sesuai dengan begitu harapannya dapat saling berkompetisi,
bersaing dan pada akhirnya berkontribusi secara riil untuk bangsa, negara dan
masyarakat Indonesia," tutup Handoko. (Rdn/edt. akb)