BRIN Sikapi Tatap Kelola Indeks Jurnal
Jakarta – Humas BRIN, Sesuai dengan visinya menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional yang andal, profesional, inovatif dan berintegritas, BRIN membangun sistem dan strategi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Penyatuan semua komponen penelitian dari kementerian dan lembaga menjadikan organisasi BRIN sangat besar. Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko sangat bersemangat dalam membenahi infrastruktur di berbagai lokasi serta antusias memacu para penelitinya untuk meningkatkan kapasitasnya masing-masing,
Handoko mengajak seluruh sivitas BRIN untuk tetap bekerja lebih semangat lagi dengan terus melakukan perbaikan secara terus menerus, maka akan membuat negara Indonesia semakin maju, itulah tugas kita semua saat ini.“Jadi sebaiknya kita tidak sekedar melanjutkan apa yang sudah terjadi tanpa berusaha berpikir, sebaliknya kita harus tetap melakukan perbaikan secara terus menerus dan kreatif mencari alternatif baru yang lebih baik,” Ujar HAndoko disampaikan pada Apel Pagi BRIN pada Senin (6/2) secara daring.
Pada kesempatan tersebut juga disinggung terkait dengan tata Kelola indeksasi jurnal, terkait hal tersebut sudah diputuskan tidak dilakukan delisting dilevel penerbit tetapi, sebagai gantinya akan dilakukan investigasi per jurnal tanpa melihat penerbitnya, berbasis pada masukan dan hasil investigasi dari tim pakar di bidangnya melengkapi beberapa indeks global yang selama ini menjadi basis penetapan. Disini sangat diharapkan adanya masukan dari OR/PR/KR/Periset sangat penting untuk meminimalisir kesalahan.
“Daftar indeksasi jurnal dilansir setiap awal tahun menjadi basis penilaian dari KTI yang diterbitkan pada tahun yang sama dan tidak berlaku surut. Sebaiknya periset dapat memastikan status jurnal saat menentukan target jurnal saat untuk mempublikasikan hasil risetnya,”tegas Handoko.
Lebih lanjut Handoko menyampaikan
bahwa ada fislosofi yang harus menjadi persepsi bersama bahwa “Jurnal adalah
instrument diseminasi dan cek-ricek oleh komunitas rekan sejawat atas hasil
riset yang dituangkan dalam bentuk KTI, karena secara tradisi proses bisnis substantif
dilakukan oleh komunitas secara gotong royong (sukarela), perlu diketahui
bersama APC merupakan “fasilitasi” bagi public agar mudah dan murah mengakses
KTI keluaran riset dan bukan “fasilitasi bagi periset penulis KTI”, idealisme
open access yang diusung sejak tahun 2000 an adalah institusi/negara/ komunitas
membiayai biaya penerbitan. Tetapi sampai saat ini belum ditemukan mekanisme
yang adil bagi semua institusi/negara/komunitas terkait menanggung beban
tersebut dan bagaimana kriteria penerbitnya.Sehingga “aspek bisnis” terkait
proses bisnis on substansi dari penerbit tidak sewajarnya memiliki porsi yang
signifikan,” jelas Handoko. (rdn/edt.sj)