• (021) 3169010
  • ppid@brin.go.id
Views ( 886 ) Apr 30, 2024

BRIN Kenalkan Jejak Historis Hindu-Buddha di Bali pada Mahasiswa


Bali - Humas BRIN. Jejak sejarah perkembangan Hindu-Buddha berupa artefak banyak ditemukan di Bali. Artefak menjadi objek utama dalam rekonstruksi dan interpretasi sejarah manusia dan memberikan wawasan mendalam tentang sejarah, budaya, dan interaksi masyarakat masa lalu.

 

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menerima Kunjungan Kerja Lapangan (KKL) 111 sivitas Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik di  Kawasan Kerja Bersama (KKB)  BRIN  Denpasar Selatan pada Senin (29/04). KKL yang dilaksanakan merupakan upaya peningkatan kolaborasi dari UNY dengan BRIN.

 

Riko Septianoko selaku Dosen Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Universitas Negeri Yogyakarta mengatakan KKL ini merupakan rangkaian kegiatan untuk mendapatkan informasi terkait sejarah perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia.

 

Keterkaitan antara disiplin ilmu arkeologi, sejarah, dan ilmu sosial lainnya memungkinkan pengembangan pemahaman holistik pada peserta didik. "Penelitian yang telah dilakukan oleh BRIN di bidang arkeologi di Bali dapat memberikan wawasan mendalam tentang sejarah, budaya, dan interaksi masyarakat masa lalu," ungkap Riko.

 

Lebih lanjut Riko menambahkan, melalui kegiatan KKL diharapkan menjadi sumber informasi yang berharga bagi mahasiswa. "Hasil penelitian para periset dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar yang komprehensif sehingga meningkatkan kualitas pembelajaran dan mendorong diskusi yang produktif di dalam kelas,” jelasnya.

 

Peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah, I Wayan Sumerata menyampaikan bahwa Bali memiliki kekayaan peninggalan arkeologis Hindu-Buddha yang cukup banyak dan tersebar hampir di seluruh wilayah Bali. Salah satu bukti tertua keberadaan Hindu di Bali adalah arca Wisnu yang disimpan di Pura Petapan, Desa Lembean, Kintamani, Bangli yang berasal dari abad ke-7 Masehi,” ungkapnya.

 

Tinggalan lainnya yang menunjukan eksistensi Hindu terus berlanjut di Bali adalah Tirta empul, Candi Mengening, kompleks percandian Gunung Kawi, Tampaksiring yang dibangun pada abad X-XI Masehi. Selain itu, situs arkeologi seperti Goa Gajah, Goa Garbha, dan pertapaan-pertapaan, yang tersebar di sepanjang DAS Pakerisan dan Petanu di Gianyar,” tambah Sumerata.

 

Keberadaan tinggalan arkeologis Hindu-Buddha di Bali menegaskan posisi strategis pulau ini sebagai salah satu pusat perkembangan agama dan kebudayaan di Nusantara sejak masa lalu. Studi mendalam terhadap bukti-bukti fisik ini memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai sejarah, interaksi budaya, serta dinamika masyarakat Bali di masa silam,” papar Sumerata.

 

Khusus terkait dengan Jejak peninggalan Buddha di Bali ditemukan di situs Uma Jero, Buleleng berupa stupika dan tablet tanah liat yang berisikan ye-te Mantra, Stupa Kalibukbuk, Stupa Pegulingan, dan relief catra di Goa Gajah. Sumerata menyatakan bahwa keberadaan tinggalan arkeologis Hindu-Buddha di Bali menegaskan interaksi sosial masyarakat masa lalu yang sangat menjaga toleransi, walaupun memilki keyakinan yang berbeda. Hal ini merupakan warisan budaya yang harus dipertahankan dan ditananmkan dalam pemahaman generasi muda saat ini yang sangat rentan dengan pengaruh negatif dari perkembangan teknologi.

 

Selain dalam bentuk arca dan relief, bukti autentik yang menunjukan eksistensi Hindu Budha di Bali adalah prasasti. Pada masa kerajaan Bali Kuno yang berkisar antara abad ke-9 sampai 14 Masehi, sudah ditemukan lebih dari 200 cakep prasasti dari beberapa orang raja yang pernah berkuasa di Bali pada masa lalu. “Dalam beberapa prasasti Bali, setiap raja akan mengambil keputusan dalam persidangan terlebih dahulu memohon restu kepada pendeta saiwa (Hindu) dan Saugatha (Buddha). Hal ini jelas menunjukan bagaimana kuatnya kedua kepercayaan ini pada masa lalu. Untuk lebih mengetahui perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia umumnya, dan di Bali pada Khususnya diperlukan penelitian-penelitian yang terus berlanjut sehingga dapat menghasilkan rekonstruksi sejarah yang konferehensif, sehingga dapat dipahami dengan mudah oleh generasi muda saat ini,” jelas Sumerata.

 

Dalam kesempatan yang sama Ati Rati Hidayah peneliti Pusat Riset Arkeometri BRIN menyampaikan bahwa perbedaan mendasar antara ilmu sejarah dan arkeologi terletak pada materi bukti yang digunakan dalam kajian masing-masing disiplin. Sejarah sebagai ilmu yang mempelajari masa lalu umumnya berpijak pada sumber-sumber tertulis seperti naskah, kronik, dan historiografi. Sementara arkeologi mengkaji peninggalan material atau benda-benda fisik sebagai objek utama dalam rekonstruksi dan interpretasi sejarah manusia,” jelasnya.

 

Ati menegaskan, "Tanpa adanya bukti-bukti artefaktual, arkeologi akan kehilangan landasan substantif untuk mengungkap data historis. Keberadaan benda-benda peninggalan dari masa lalu menjadi kunci penting bagi para arkeolog dalam menyusun narasi sejarah yang komprehensif. Melalui analisis mendalam terhadap sisa-sisa material, arkeologi mampu mengungkap informasi yang tidak terdokumentasikan dalam catatan sejarah tertulis.” (gws/igp/yul)