BRIN Kenalkan Jejak Historis Hindu-Buddha di Bali pada Mahasiswa
Bali - Humas BRIN. Jejak sejarah perkembangan Hindu-Buddha berupa
artefak banyak ditemukan di Bali. Artefak menjadi objek
utama dalam rekonstruksi dan interpretasi sejarah manusia dan memberikan wawasan mendalam tentang sejarah, budaya, dan interaksi
masyarakat masa lalu.
Badan Riset dan
Inovasi Nasional (BRIN) menerima Kunjungan Kerja Lapangan (KKL) 111 sivitas Universitas
Negeri Yogyakarta
(UNY), Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik
di Kawasan Kerja Bersama (KKB) BRIN
Denpasar Selatan pada Senin
(29/04). KKL yang
dilaksanakan merupakan upaya peningkatan kolaborasi dari UNY dengan BRIN.
Riko Septianoko selaku Dosen
Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) Universitas Negeri Yogyakarta mengatakan KKL ini merupakan rangkaian kegiatan untuk mendapatkan informasi terkait
sejarah perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia.
Keterkaitan antara
disiplin ilmu arkeologi, sejarah, dan ilmu sosial lainnya memungkinkan
pengembangan pemahaman holistik pada peserta didik. "Penelitian yang telah dilakukan
oleh BRIN di bidang arkeologi di Bali dapat memberikan wawasan mendalam tentang
sejarah, budaya, dan interaksi masyarakat masa lalu," ungkap Riko.
Lebih lanjut Riko menambahkan, melalui kegiatan KKL diharapkan menjadi sumber informasi yang berharga bagi mahasiswa. "Hasil penelitian para periset dapat
dimanfaatkan sebagai bahan ajar yang komprehensif sehingga meningkatkan
kualitas pembelajaran dan mendorong diskusi yang produktif di dalam kelas,” jelasnya.
Peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah, I Wayan Sumerata menyampaikan
bahwa Bali memiliki kekayaan peninggalan arkeologis Hindu-Buddha yang cukup
banyak dan tersebar hampir di seluruh wilayah Bali. “Salah satu bukti tertua
keberadaan Hindu di Bali adalah arca Wisnu yang disimpan di Pura Petapan, Desa
Lembean, Kintamani, Bangli yang berasal dari abad ke-7 Masehi,” ungkapnya.
Tinggalan lainnya
yang menunjukan eksistensi Hindu terus berlanjut di Bali adalah Tirta empul,
Candi Mengening, kompleks percandian Gunung Kawi, Tampaksiring yang dibangun
pada abad X-XI Masehi. “Selain itu, situs arkeologi seperti Goa Gajah, Goa Garbha, dan
pertapaan-pertapaan, yang tersebar di sepanjang DAS Pakerisan dan Petanu di
Gianyar,” tambah Sumerata.
Keberadaan
tinggalan arkeologis Hindu-Buddha di Bali menegaskan posisi strategis pulau ini
sebagai salah satu pusat perkembangan agama dan kebudayaan di Nusantara sejak
masa lalu. “Studi mendalam terhadap bukti-bukti fisik ini memberikan pemahaman yang
komprehensif mengenai sejarah, interaksi budaya, serta dinamika masyarakat Bali
di masa silam,” papar
Sumerata.
Khusus terkait
dengan Jejak peninggalan Buddha di Bali ditemukan di situs Uma Jero, Buleleng
berupa stupika dan tablet tanah liat yang berisikan ye-te Mantra, Stupa
Kalibukbuk, Stupa Pegulingan, dan relief catra di Goa Gajah. Sumerata
menyatakan bahwa keberadaan tinggalan arkeologis Hindu-Buddha di Bali
menegaskan interaksi sosial masyarakat masa lalu yang sangat menjaga toleransi,
walaupun memilki keyakinan yang berbeda. Hal ini merupakan warisan budaya yang
harus dipertahankan dan ditananmkan dalam pemahaman generasi muda saat ini yang
sangat rentan dengan pengaruh negatif dari perkembangan teknologi.
Selain dalam bentuk
arca dan relief, bukti autentik yang menunjukan eksistensi Hindu Budha di Bali
adalah prasasti. Pada masa kerajaan Bali Kuno yang berkisar antara abad ke-9
sampai 14 Masehi, sudah ditemukan lebih dari 200 cakep prasasti dari beberapa orang
raja yang pernah berkuasa di Bali pada masa lalu. “Dalam beberapa prasasti
Bali, setiap raja akan mengambil keputusan dalam persidangan terlebih dahulu
memohon restu kepada pendeta saiwa (Hindu) dan Saugatha (Buddha). Hal ini jelas
menunjukan bagaimana kuatnya kedua kepercayaan ini pada masa lalu. Untuk lebih
mengetahui perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia umumnya, dan di Bali pada
Khususnya diperlukan penelitian-penelitian yang terus berlanjut sehingga dapat
menghasilkan rekonstruksi sejarah yang konferehensif, sehingga dapat dipahami
dengan mudah oleh generasi muda saat ini,” jelas Sumerata.
Dalam kesempatan
yang sama Ati Rati
Hidayah peneliti Pusat Riset
Arkeometri BRIN menyampaikan bahwa perbedaan mendasar antara ilmu sejarah dan
arkeologi terletak pada materi bukti yang digunakan dalam kajian masing-masing
disiplin. “Sejarah sebagai ilmu yang mempelajari masa lalu umumnya berpijak pada
sumber-sumber tertulis seperti naskah, kronik, dan historiografi. Sementara arkeologi
mengkaji peninggalan material atau benda-benda fisik sebagai objek utama dalam
rekonstruksi dan interpretasi sejarah manusia,” jelasnya.
Ati menegaskan, "Tanpa
adanya bukti-bukti artefaktual, arkeologi akan kehilangan landasan substantif
untuk mengungkap data historis. Keberadaan benda-benda peninggalan dari masa
lalu menjadi kunci penting bagi para arkeolog dalam menyusun narasi sejarah
yang komprehensif. Melalui analisis mendalam terhadap sisa-sisa material,
arkeologi mampu mengungkap informasi yang tidak terdokumentasikan dalam catatan
sejarah tertulis.” (gws/igp/yul)