• (021) 3169010
  • ppid@brin.go.id
Views ( 79 ) Jan 17, 2025

BRIN Kenalkan Riset Arkeologi Prasejarah pada Pelajar Papua


Jayapura – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menerima kunjugan sejumlah pelajar SMP Papua Kasih pada Kamis (16/01). Kunjungan di BRIN Kawasan Kerja Bersama Jayapura, Papua ini untuk meningkatkan pemahaman mengenai Budaya Papua. 

 

Kunjungan edukasi ini disambut langsung oleh Kepala Biro Komunikasi Publik, Umum, dan Kesekretariatan, Yudho Baskoro melalui media zoom. Dalam sambutannya, Yudho menyarankan agar para siswa tidak pernah berhenti belajar. “Jangan pernah berhenti untuk membaca dan jangan pernah berhenti untuk bertanya,” tegasnya.

 

Dalam kunjungan tersebut, mereka mendapat pembekalan materi pengenalan riset BRIN terkait arkeologi. Materi budaya Papua dipaparkan oleh Erlin Novita Djami, Peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN.

 

Erlin memberikan materi tersebut agar para pelajar meningkatkan wawasannya tentang kebudayaan dari peninggalan nenek moyang. Ia memulai penjelasan bahwa Papua mempunyai posisi strategis di wilayah paling timur kawasan pasifik barat. Posisi strategisnya sebagai penghubung antara wilayah Asia Tenggara dengan Pasifik. 

 

“Maka, ini berpotensi terhadap pertemuan dua budaya tersebut sehingga menyebabkan difusi dan akulturasi,” jelasnya. Lalu ia mengungkapkan, masyarakat Papua pada dasarnya berasal dari dua ras yaitu ras australomelanesid atau australoPapuan (imigran awal) dan ras mongoloid selatan atau penutur austronesia (imigran kedua). 

 

Lebih mendalam lagi, Erlin menerangkan kebudayaan Papua dalam kacamata arkeologi. “Papua memiliki banyak tinggalan arkeologi berupa artefak batu, artefak cangkang kerang, artefak tulang, kayu, dan tanah liat, artefak gerabah, artefak perunggu, perhiasan, seni cadas, serta berbagai macam budaya megalitik,” sebutnya.

 

Ia lalu memberi contoh temuan tinggalan seperti Situs Megalitik Tutari, budaya penghunian Gua Togece di Wamena, budaya hunian terbuka Situs Gunung Srobu, hunian terbuka Situs Yomokho di pesisir danau Sentani, dan sebagainya.

 

Dari berbagai tinggalan megalitik tersebut, terdapat potensi yang mengandung nilai – nilai kehidupan. Seperti nilai sejarah, ilmu pengetahuan, serta nilai kebudayaan. Tinggalan tersebut, dikatakannya, sebagai bukti fisik keragaman aktivitas kehidupan manusia di masa lampau dan kondisi lingkungannya. 

 

Dengan hadirnya multikulturalisme di Papua, menurutnya, menandakan kemampuan masyarakat dalam menciptakan gagasan, kebijakan, kearifan, dan tindakan berkualitas untuk berinteraksi dengan lingkungan alam. Sehingga mereka bisa memberikan inspirasi bagi kehidupan masa kini.

 

“Budaya – budaya yang terbentuk ini merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya,” ucapnya.

 

Para siswa antusias menyimak penjelasan dan tidak sedikit mengajukan pertanyaan untuk memperdalam lagi ilmu pengetahuan dan untuk menjawab rasa ingin tahu mereka. Beberapa pertanyaan muncul terkait artefak, ekofak, serta cara untuk mengetahui usia peninggalan benda-benda bersejarah tersebut. 

 

Erlin menanggapi, bahwa artefak sebagai benda alam, baik itu dari batu, tulang, tanah, maupun kayu yang dimodifikasi oleh manusia. Adapun ekofak adalah benda alam atau bagian dari alam, yang terlibat dengan aktivitas manusia tetapi tidak dimodifikasi oleh manusia. Seperti contohnya tulang-tulang binatang.

 

Untuk mengetahui usia peninggalan, dijelaskannya, maka itu BRIN melakukan proses penelitian dalam upaya melestarikan warisan budaya leluhur. 

 

Usai menyimak paparan, para pelajar ini dikenalkan dengan berbagai sampel benda arkeologi yang menjadi bahan riset para peneliti BRIN. (RS/ ed:And)