
BRIN Kenalkan Riset Arkeologi Prasejarah pada Pelajar Papua
Jayapura – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menerima kunjugan sejumlah pelajar SMP Papua Kasih pada Kamis (16/01). Kunjungan di BRIN Kawasan Kerja Bersama Jayapura, Papua ini untuk meningkatkan pemahaman mengenai Budaya Papua.
Kunjungan edukasi ini disambut langsung oleh Kepala Biro Komunikasi
Publik, Umum, dan Kesekretariatan, Yudho Baskoro melalui media zoom. Dalam
sambutannya, Yudho menyarankan agar para siswa tidak pernah berhenti belajar.
“Jangan pernah berhenti untuk membaca dan jangan pernah berhenti untuk
bertanya,” tegasnya.
Dalam kunjungan tersebut, mereka mendapat pembekalan materi pengenalan
riset BRIN terkait arkeologi. Materi budaya Papua dipaparkan oleh Erlin Novita
Djami, Peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN.
Erlin memberikan materi tersebut agar para pelajar meningkatkan
wawasannya tentang kebudayaan dari peninggalan nenek moyang. Ia memulai
penjelasan bahwa Papua mempunyai posisi strategis di wilayah paling timur
kawasan pasifik barat. Posisi strategisnya sebagai penghubung antara wilayah
Asia Tenggara dengan Pasifik.
“Maka, ini berpotensi terhadap pertemuan dua budaya tersebut sehingga
menyebabkan difusi dan akulturasi,” jelasnya. Lalu ia mengungkapkan, masyarakat
Papua pada dasarnya berasal dari dua ras yaitu ras australomelanesid atau
australoPapuan (imigran awal) dan ras mongoloid selatan atau penutur
austronesia (imigran kedua).
Lebih mendalam lagi, Erlin menerangkan kebudayaan Papua dalam kacamata
arkeologi. “Papua memiliki banyak tinggalan arkeologi berupa artefak batu,
artefak cangkang kerang, artefak tulang, kayu, dan tanah liat, artefak gerabah,
artefak perunggu, perhiasan, seni cadas, serta berbagai macam budaya
megalitik,” sebutnya.
Ia lalu memberi contoh temuan tinggalan seperti Situs Megalitik Tutari,
budaya penghunian Gua Togece di Wamena, budaya hunian terbuka Situs Gunung
Srobu, hunian terbuka Situs Yomokho di pesisir danau Sentani, dan sebagainya.
Dari berbagai tinggalan megalitik tersebut, terdapat potensi yang
mengandung nilai – nilai kehidupan. Seperti nilai sejarah, ilmu pengetahuan,
serta nilai kebudayaan. Tinggalan tersebut, dikatakannya, sebagai bukti fisik
keragaman aktivitas kehidupan manusia di masa lampau dan kondisi
lingkungannya.
Dengan hadirnya multikulturalisme di Papua, menurutnya, menandakan
kemampuan masyarakat dalam menciptakan gagasan, kebijakan, kearifan, dan
tindakan berkualitas untuk berinteraksi dengan lingkungan alam. Sehingga mereka
bisa memberikan inspirasi bagi kehidupan masa kini.
“Budaya – budaya yang terbentuk ini merupakan hasil adaptasi terhadap
lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya,” ucapnya.
Para siswa antusias menyimak penjelasan dan tidak sedikit mengajukan
pertanyaan untuk memperdalam lagi ilmu pengetahuan dan untuk menjawab rasa
ingin tahu mereka. Beberapa pertanyaan muncul terkait artefak, ekofak, serta
cara untuk mengetahui usia peninggalan benda-benda bersejarah tersebut.
Erlin menanggapi, bahwa artefak sebagai benda alam, baik itu dari batu,
tulang, tanah, maupun kayu yang dimodifikasi oleh manusia. Adapun ekofak adalah
benda alam atau bagian dari alam, yang terlibat dengan aktivitas manusia tetapi
tidak dimodifikasi oleh manusia. Seperti contohnya tulang-tulang binatang.
Untuk mengetahui usia peninggalan, dijelaskannya, maka itu BRIN
melakukan proses penelitian dalam upaya melestarikan warisan budaya
leluhur.
Usai menyimak paparan, para pelajar ini dikenalkan dengan berbagai sampel benda arkeologi yang menjadi bahan riset para peneliti BRIN. (RS/ ed:And)