Di Hadapan Pelajar, Peneliti BRIN Berbagi Cerita Sejarah Perkembangan Kota Ciputat
Jakarta – Humas
BRIN. Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Ciputat
sangat luas. Mencakup Rempoa, Pamulang, Cirendeu, Pondok Cabe, dan hampir ke
Lebak Bulus. Pada masa itu, kawasan Ciputat menjadi sumber utama penghasilan
Belanda untuk memperoleh rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.
Hal tersebut disampaikan Dede Burhanudin,
Peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban, (PR KKP) BRIN, dalam
kegiatan seminar bertemakan jejak budaya indonesia sebagai refleksi masa lalu,
masa kini, dan masa yang akan datang, Jumat (11/10).
Kegiatan tersebut berlangsung di SMA
Negeri 1 Ciputat, Tangerang, Banten. Dede mengimbuhkan, BRIN hadir untuk
mengedukasi pengetahuan para pelajar di sekolah tersebut.
Dede mengawali paparan dengan
mengenalkan sejarah berdirinya kota Ciputat. Ia
memulai perbincangan dengan mengatakan bahwa penduduk di kawasan Ciputat ini
terdiri dari berbagai etnis, yaitu Sunda, Betawi, Arab, dan Tiong Hoa (China).
Pada masa kolonial Belanda, diuraikannya, etnis
China adalah penguasa secara ekonomi kawasan Ciputat. Seiring dengan
bertambahnya waktu, saat Indonesia merdeka, peran etnis China terus berkurang
digantikan oleh etnis Arab dan Betawi. “Mereka menguasai lahan-lahan di kawasan
penyangga ibu kota tersebut,” ujarnya.
Berkaca dari itu, Dede menginformasikan, sebagai konsekuensi logis dari lajunya
globalisasi semacam itu, selain berpengaruh positif bagi kemajuan, namun juga berdampak
negatif. Bukan sekadar itu, perubahan yang dikhawatirkan adalah perubahan yang
sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai kultur keindonesiaan.
“Tentu saja, kita tidak anti-perubahan karena perubahan itu sendiri adalah
suatu keniscayaan. Akan tetapi, perubahan yang terjadi itu hendaknya terkendali
dan terarah, sehingga berefek konstruktif secara moral dan material,” terangnya.
Lalu Dede menceritakan di depan para pelajar ini, tentang jejak budaya dan
perubahannya karena berkembangnya inovasi di Indonesia. Ia menekankan bahwa
budaya sebagai suatu hak dan kewajiban. Menurutnya, budaya sebagai upaya
menumbuhkembangkan norma -norma yang ada dengan tidak melanggar.
Hal tersebut dengan memandang budaya dari sisi hukum, yakni untuk
melindungi hak milik sebagai upaya pengakuan. Maka dari itu, budaya harus
diselamatkan dan dilestarikan. Untuk itu, budaya sebagai hasil kreasi dan
inovasi warga negara dijamin oleh undang – undang dan peraturan yang ada.
Ia juga menerangkan, setiap warga negara punya hak untuk menciptakan
kebudayaan yang baru, seperti contoh penyelenggaraan pementasan dan pertunjukan
di masa modern ini.
Lebih jauh Dede berpendapat, bahwa setiap kali orang dapat berkata dengan
bangganya bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk yang terdiri
dari banyak suku bangsa. Indonesia sangat kaya dengan aneka ragam kebudayaan.
Bahkan kebudayaan -kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah itu
diakui keberadaan dan otonominya oleh UUD 1945. Hal itu sebagai landasan
pengembangan kebudayaan nasional.
Budaya dan gaya hidup berkelanjutan, menurut pandangannya, mengacu pada
pola-pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang memperhatikan keberlanjutan
alam, sosial, dan budaya. “Antara lain dengan melibatkan sumber daya secara
bijaksana, pengurangan limbah, pemeliharaan lingkungan, serta nilai-nilai
tradisional sebagai panduan dalam pengambilan keputusan,” pungkasnya. (suhe/
ed:And)