• (021) 3169010
  • ppid@brin.go.id
Views ( 88 ) Oct 12, 2024

Di Hadapan Pelajar, Peneliti BRIN Berbagi Cerita Sejarah Perkembangan Kota Ciputat


Jakarta – Humas BRIN. Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Ciputat sangat luas. Mencakup Rempoa, Pamulang, Cirendeu, Pondok Cabe, dan hampir ke Lebak Bulus. Pada masa itu, kawasan Ciputat menjadi sumber utama penghasilan Belanda untuk memperoleh rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.

 

Hal tersebut disampaikan Dede Burhanudin, Peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban, (PR KKP) BRIN, dalam kegiatan seminar bertemakan jejak budaya indonesia sebagai refleksi masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, Jumat (11/10).

 

Kegiatan tersebut berlangsung di SMA Negeri 1 Ciputat, Tangerang, Banten. Dede mengimbuhkan, BRIN hadir untuk mengedukasi pengetahuan para pelajar di sekolah tersebut.

 

Dede mengawali paparan dengan mengenalkan sejarah berdirinya kota Ciputat. Ia memulai perbincangan dengan mengatakan bahwa penduduk di kawasan Ciputat ini terdiri dari berbagai etnis, yaitu Sunda, Betawi, Arab, dan Tiong Hoa (China).

 

Pada masa kolonial Belanda, diuraikannya, etnis China adalah penguasa secara ekonomi kawasan Ciputat. Seiring dengan bertambahnya waktu, saat Indonesia merdeka, peran etnis China terus berkurang digantikan oleh etnis Arab dan Betawi. “Mereka menguasai lahan-lahan di kawasan penyangga ibu kota tersebut,” ujarnya.

 

Berkaca dari itu, Dede menginformasikan, sebagai konsekuensi logis dari lajunya globalisasi semacam itu, selain berpengaruh positif bagi kemajuan, namun juga berdampak negatif. Bukan sekadar itu, perubahan yang dikhawatirkan adalah perubahan yang sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai kultur keindonesiaan.

 

“Tentu saja, kita tidak anti-perubahan karena perubahan itu sendiri adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, perubahan yang terjadi itu hendaknya terkendali dan terarah, sehingga berefek konstruktif secara moral dan material,” terangnya.

 

Lalu Dede menceritakan di depan para pelajar ini, tentang jejak budaya dan perubahannya karena berkembangnya inovasi di Indonesia. Ia menekankan bahwa budaya sebagai suatu hak dan kewajiban. Menurutnya, budaya sebagai upaya menumbuhkembangkan norma -norma yang ada dengan tidak melanggar.

 

Hal tersebut dengan memandang budaya dari sisi hukum, yakni untuk melindungi hak milik sebagai upaya pengakuan. Maka dari itu, budaya harus diselamatkan dan dilestarikan. Untuk itu, budaya sebagai hasil kreasi dan inovasi warga negara dijamin oleh undang – undang dan peraturan yang ada.

 

Ia juga menerangkan, setiap warga negara punya hak untuk menciptakan kebudayaan yang baru, seperti contoh penyelenggaraan pementasan dan pertunjukan di masa modern ini.

 

Lebih jauh Dede berpendapat, bahwa setiap kali orang dapat berkata dengan bangganya bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk yang terdiri dari banyak suku bangsa. Indonesia sangat kaya dengan aneka ragam kebudayaan. Bahkan kebudayaan -kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah itu diakui keberadaan dan otonominya oleh UUD 1945. Hal itu sebagai landasan pengembangan kebudayaan nasional.

 

Budaya dan gaya hidup berkelanjutan, menurut pandangannya, mengacu pada pola-pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang memperhatikan keberlanjutan alam, sosial, dan budaya. “Antara lain dengan melibatkan sumber daya secara bijaksana, pengurangan limbah, pemeliharaan lingkungan, serta nilai-nilai tradisional sebagai panduan dalam pengambilan keputusan,” pungkasnya. (suhe/ ed:And)