• (021) 3169010
  • ppid@brin.go.id
Views ( 113 ) Oct 14, 2024

BRIN Targetkan Implementasi Revisi Regulasi JF Iptek Awal Tahun 2025


Jakarta – Humas BRIN. Kemenpan RB telah selesai memproses penyederhanaan jabatan fungsional bidang iptek, hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko dalam sambutannya pada apel pagi (14/10).


“Jadi selama ini BRIN menjadi instansi Pembina dari 11 jabatan fungsional, jadi ada tiga jabatan fungsional keterampilan dan delapan jabatan fungsional keahlian dan ini dijadikan lima jabatan fungsional,” tutur Handoko.


Lima jabatan fungsional kata Handoko terdiri dari JF peneliti, JF perekayasa untuk yang tadinya ada pengembang teknologi itu akan di integrasikan, kurator koleksi hayati masuk ke JF Analis data ilmiah, penata penerbitan ilmiah dan analisis perkebunrayaan masuk ke JF analis pemanfaatan Iptek, kemudian pranata nuklir dan teknisi perkebunrayaan masuk ke JF litkayasa.


“Harapannya ini bisa kita lanjut dan implementasikan paling lambat satu Januari 2025 sehingga tidak ada jeda karena seluruh jabfung bidang iptek itu memang start-nya selalu di awal tahun,” lanjut Handoko.


Dikatakan Handoko revisi regulasi JF Iptek ini dilakukan untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya yang belum sempurna atau kurang pas.


Dirinya juga mengatakan ada beberapa poin utama dalam revisi regulasi JF Iptek ini yaitu pertama penyelarasan pola standar pengaturan dan implementasi dari 5 JF binaan BRIN termasuk HKM dan periodenya.


Kedua kata Handoko sivitas yang saat ini menduduki JF lama yang diintegrasikan ke JF bidang Iptek lain akan dilakukan alih jabatan pada jenjang yang sama selama memenuhi syarat jabatan.


“Kemudian juga ada terkait dengan pemberian gelar bidang riset itu akan dibuka juga untuk perekayasa selain peneliti seperti selama ini, jadi disamakan ini mengikuti undang-undang di mana ada kesetaraan antara JF peneliti dan perekayasa yaitu ada penambahan gelar,” tutur Handoko.


“Kemudian yang penting lagi ada penambahan secara jabatan untuk perekayasa dan peneliti yang di jenjang ahli Madya dan ahli utama itu pendidikan kualifikasi minimal adalah S3,” lanjut Handoko.


Dikatakan Handoko meskipun semua ini masih tentatif karena belum diundangkan, dirinya meminta seluruh sivitas BRIN untuk bisa bersiap-siap karena memang BRIN sudah memiliki skema dan mekanisme untuk mempercepat penyesuaian kualifikasi sekaligus juga memiliki mekanisme untuk menyiapkan generasi baru dari para periset Indonesia ke depan.


“Sehingga kita harus memastikan bahwa negara Indonesia harus hadir untuk menyerap putra-putri muda adik-adik kita yang nanti sudah bisa langsung S3 pada usia yang relatif masih sangat muda,” lanjut Hadnoko.


Poin selanjutnya kata Handoko yaitu mengikuti amanat undang-undang 11/2019, bahwa JF peneliti untuk di instansi pusat itu hanya ada di BRIN kemudian untuk pemerintah daerah itu hanya ada di BRINDA.


“Kemudian juga akan ada perbedaan HKM untuk setiap jenjang, ini mengikuti aspirasi dari teman-teman karena merasa ada kekurangan karena ada perlakuan terkait batas usia pensiun dan juga tunjangan kinerja di setiap jenjang tetapi HKM-nya hanya 2 Jadi ini kita akomodasi jadi dibuat perbedaan HKM untuk siap jenjang,” jelas Handoko.


“kemudian ini yang paling penting jadi kewajiban pemilihan HKM untuk maintenance di setiap jenjang bukan lagi seperti Jabung peneliti selama ini dua kali empat tahun itu menjadi satu kali lima tahun,” terang Handoko.


Dikatakan Handoko hal ini disesuaikan dengan ketentuan yang lain di atasnya bahwa setiap Jabatan itu memang 5 tahun kemudian masa transisi untuk pemenuhan HKM untuk civitas.


“Jadi misalnya untuk para pemangku JF peneliti yang sudah menjalani pertama HKM maintenance katakanlah dari 2019 sampai 2022 itu tetap mengikuti sampai dengan 2026, tetapi yang diangkat setelahnya itu akan mengikuti ditambah 5 tahun sehingga ini akan memberikan kepastian pada semua pihak dan kesesuaian terkait dengan pengakuan HKM nanti pada saat misalnya ada pengusulan HKM itu yang diakui yang mana supaya tidak menimbulkan perbedaan interpretasi yang bisa merugikan Bapak Ibu sekalian,” tandas Handoko. (nnp)